Bab I Teori dan
Sejarawan
Pemahaman sejarahwan
terhadap teori masih berbeda-beda, sebagian sejarahwan mengangap toeri
sebagai kerangka yang sangat menolong
dan sebagian lagi mengangap teori sebagai alat untuk memecahkan masalah khusus.
Yang lainya lagi sejak dahulu sampai sekarang masih menunjukan sikap sangat
curiga dan menentang teori dalam sejarah. Perbedaan pandangan terhadap
penggunaan teori dalam sejarah menyebabkan kesalahpaham antara sejarawan dan
pakar-pakar ilmu lain. seperti sejarawan dan sosiolog mereka tetanga yang tidak
selalu akur yang sering tidak sepaham
walaupun sama-sama meneliti pola yang ada di masyarakat.
Sosiologi melihat struktur masyarakat dan
perkembangannya, sedangkan sejarah melihat perubahan-perubahan masyarakat dari waktu ke waktu. Kedua
pendekatan ini kadang-kadang dianggap kontradiktif tetpi akan lebih baik jika
kita mengangapnya saling melengkapi. Hanya dengan membandingkan satu masyarakat
dengan masyarakat lain, dapat diketahui keunikan masyarakat itu. Perubahan itu
terstruktur dan struktur berubah. Memang proses strukturasi seperti
diistilahkan sebagian sosiolog, telah menjadi pumpunan perhatian akhir-akhir
ini.
Dari kedua disiplin
ilmu ini saling membicarakan kelemahan, dan celakanya kelompok satu cenderung
memandang jelek yang lainnya. sejarawan melihat bahwa sosiologiwan hanya
terpaku hal-hal yang abstrak dan tidak memiliki sense waktu dan tempat
membedakan individu ke dalam kategori-kategori yang kaku. Maka untuk menutupi
semua ini , mereka menyebut kegiatan mereka sebagai hal yang ‘’ilmiah’’. Sedang
sosiologiwan membicarakan sejarah sebagai tukang kumpul fakta amatiran
yang rabun, yang tidak mempunya sistem, metode dan tidak akuratnya data
sehingga dicocokan dengan ketidak mampuan menganalisisnya. Sebenarnya kedua
disiplin ilmu bisa saling melengkapi satu sama lain.
Untuk memahami keadaan
ini sebaiknya kita memandang disiplin ilmu yang berbeda sebagai profesi yang
berbeda dan sebagai sub budaya yang berbeda pula, yang memiliki bahasa,
nilai-nilai dan mentalitas ata pola pikir masing-masing yang dibagun melalui
proses pelatihan atau sosialisnya sendiri.
Pada abad ke-18
tidak perselisihan antara sosiologiwan dan sejarawan karena sosiologi pada saat
itu belum menjadi disiplin ilmu tersendiri. Seratus tahun kemudian
hubungan sejarah dengan teori sosial kurang harmonis sehingga sejarawan menjauh
tidak hanya dari teori sosial tetapi juga dari sejarah sosial. Leopold Van
ranke memang tidak menolak mentah-mentah sejarah sosial, akan tetapi
karyanya pada umumnya kurang tertarik pada sejarah sosial. Sejarah sosial
ditinggalkan karena pertama negara Eropa apada abad ke 19 menjadikan sejarah
bangsa sebagai alat propaganda kaum nasionlis sehingga sejarah politik kembali
dominan. Kedua kembalinya sejarawan ke sejarah politik bersifat politik. Ranke
melakukan revolusi sejarah terutama terkait sumber dan metode yakni dari
penggunaan kronik ke penggunaan arsip resmi pemeritah.
Revolusi rangke ini membawa efek yang tak
terduga, tetapi amat penting, karena pendekatan dokumen yang baru berfungsi
baik bagi penulisan sejarah politik yang tradisional. Para teoretisi sangat
menaruh perhatian terhadap masa lalu tetapi tidak begitu menghargai sejarawan.
Comte misalnya, mencaci maki sejarah sebagai hal yang tidak penting karena
kekanak-kanakan, rasa ingin tahu yang tidak rasional. Specer malah mengatakan
sosiologi lebih tinggi dari pada sejarah, sejarawan hanya dianggap sebagai
pengumpul bahan mentah sosiologi. Selain itu Specer berkata “Biografi raja-raja
tidak ada sumbangannya terhadap kemajuan ilmu tetang masyarakat (Sedikit yang
bisa dipelajari oleh anak-anak).
Hal berbeda menurut
Durkheim dan Weber mengenai sejarah. Durkheim yang berjuang keras
menjadikan sosiologi sebagai disiplin ilmu baru dengan cara membedakannya dari
ilmu sejarah, filsafat, dan psikologi sehingg dia perlu belajar sejarah kepada
Fustel de Coulanges. Max Weber pengetahuannya sangat luas tentang sejarah.
Ketika dia tercurah pada teori sosial kajian tentang sejarah tidak
ditinggalkan. Dia bisa mendapat bahan dari sejarah dan dari sejarawan dia mendapatkan
konsep-konsep.
Weber tidak menganggap
dirinya sosiologiwan, ketika menjadi ketua jurusan sosiologi di Munich
dia berkata “menurut surat pengangkatan, saya sekarang kebetulan ahli
sosiologi”. Dia sendiri menganggap dirinya seorang ahli ekonomi politik atau
sejarawan komparatif.
Durkheim wafat pada
tahun 1917 dan weber pada tahun 1920. Karena beberapa alasan, generasi
teoretisi sosial setelah mereka tidak lagi menghiraukan masa lalu. Para ahli
ekonomi terpecah kedalam dua arah yang berlawanan. Sebagian, misalnya, francois
simiand di prancis, joseph schvmpeter di austria, dan nikolai kondratieff di
rusia, menggunakan stasistik tentang masa lalu untuk menelaah perkembangan
ekonomi, khususnya siklus perdagangan. Kadang-kadang, ketertarikan kepada masa
lalu ini diwarnai dengan cibiran kepada sejarawan dari jenis yang telah
disebutkan dimuka tentang Herbert Spencer. Francois Simiand, contohnya, menulis
artikel polemik terkenal yang menentang, apa yang ia sebut tiga ‘’berhala’’
dikalangan sejarawan: berhala politik, berhala individu, dan berhala kronologi.
Dalam artikel ini,
simiand menolak apa yang dijiluki ‘’event-centered history’’ (histoire
evenmentielle) [sejarah yang berpusat pada kejadian dan mencela kecenderungan
mencocok-cocokan kajian-kajian ekonomi dalam kerangka politik, seprti pada
kasus penyelidikan industri prancis semasa pemerintah henri IV (Simiand 1903).
Sebagian lain semakin menjauhi masa
lalu dan makin mengarah ke teori ekonomi ‘’murni’’ dengan model matematika
‘’murni’’. Para ahli teori marginal
utility dan economic equilibrium (keseimbsngsn
ekonomi) makin tidak sempat menggunakan pendekatan sejarah yang dirintis Gustav
Schmoller dan mazhabnya. Konflik hebat tentang metode itu mengkibatkan
terpecahnya profesi ilmu sosial ke dalam dua kubu ‘’prosejarawan’’ dan
‘’proteoretisi’’.
Sementara itu, para psikolog, mulai
dari jean piaget, penulis The Language ami Thought of the Child (1923), hingga
wolfgang kohler, yang menulis Gestalt Psychology (1929), berpaling ke metode
eksperimen \, yang dimasa lalu tidak terpakai. Mereka lebih mementingkan
laboratorium ketimbang perpustakaan.
Begitu pula, para antropolog sosial
menganggap studi lapangan lebih bernilai dibanding ;apora-laporan yang ditulis
oleh para pengembara, misionaris, dan sejarawan. Franz Boas, miasalnya,
melakukan perjalanan panjang ke Kwakiutl (Boas 1966), suku indian di pesisir
pasifik Kanada.
Pada
tahun 1906 sampai 1908, A. R Rradcliffe-brown sengaja tinggal di Kepulauan Andaman (di Teluk Benggala) untuk mempelajari
struktur sosial lokal. Bronislaw Malinowski menghabiskan sebagian besar
waktunya dari tahun 1915 hingga 1918 di Kepulauan Trobriand (dekat New Guinea).
Malinowskilah yang bersikeras
mengatakan bahwa studi lapangan merupakan metode antropologi par exellence. ‘’Antropolog’’, katanya
‘’ ‘harus meninggalkan kursi tunggu yang berada di beranda rumah misionaris, di
kantor pemerintah, atau di bungalow
Planter
(Tuan Kebon)’’. Hanya dengan turun ke desa-desa, ke lapangan, seorang
antropolog bisa memahami cara pandang penduduk setempat. Setelah studi
Malinowski itu, studi lapangan menjadi keharusan di jurusan antropologi
(Stocking 1983).
Dalam
melakukan studi, sosiolog juga meninggalkan kursi kerjanya (tidak Cuma kursi
tunggu diberanda) dan mulai mengumpulkan lebih banyak data dari masyarakat
sezaman. Contoh paling mencolok tentang pergeseran kearah masa kini itu – dalam
istilah Nobert Elias ‘’mundur ke masa kini’’ – dapat dilihat pada jurusan
sosiologi pertama di Amerika Serikat, yang didirakan pada 1892 di Universitas
Chicago. Ktua jurusanya yang pertama, Albion Small, adalah mantan sejarawa.
Tapi,
pada tahun 1920-an ketika diketuai Robert E. Park, para sosiolog Chicago
berpaling ke studi masyarakat sezaman, khususnya masyarakat chicago, serta
daerah-daerah kumuhnya, perkampungan kulit hitam (ghetto), kaum pendatang,
kelompok-kelomok gang, gelandangan, dan lain-lain. Kata Park, ‘’metode-metode
observasi yang sabar, seperti yang digunakan oleh Boas dan Lowie dalam menelaah
kehidupan dan perilaku indian amerika, bahkan akan jauh bermanfaat untuk
meneliti adat kebiasaan, kepercayaan, praktik sosial, dan konsepsi-konsepsi umu
kehidupan yang dijumpai pda masyarakat Little Italy atau Lower North Side di
Chicago (park 1916:15; cf. Matthews 1977; Platt 1996: esp. 261-269).
Pada akhir abad ke-19,
sejumlah sejarawan profesional kecewa dengan sejarah aliran Neo-Ranke. Salah
satu pengkritik adalah Karl Lamprecht, yang mengecam sejarawan Jerman terlalu
menitik beratkan pada sejarah politik dan orang-orang terkenal.
Dia menamakanya sejarah
kolektif yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu seperti pendekatan
psikologi sosial. Usaha Lamprecht untuk mengakhiri sejarh politik gagal
karena kebanyakan sejawan jerman belum meninggalakan paradigma Ranke. Di
Amerika sejarah sosial mendapat tanggapan baik, sejarawan Amerika Serikat
melancarkan kecaman terhadap sejarah tradisional, sama seperti Lamprecht dia
mengatakan bahwa semua kegiatan manusia harus diperhatikan. Tidak ada bagian
kehidupan sosial dapat dipahami secara terpisah dari yang lainnya. Di Perancis
ada Marc Bloch dan Febvre yang menentang dominasi sejarah politik. Ambisi
mereka menggantikan sejarah politik ke sejarah yang lebih manusiawi dan lebih
luas, suatu sejarah yang membahas hal yang lebih luas dibandingkan analis
struktur.
Sejarah
Sosial telah mendapatkan perhatian serius cukuplama diprancis dan amerika dan
disana hubungan antara sejarah sosial amat akrab. Ini bukan berarti tidak ada
hal-hal yang terjadi ditempat-tempat lain pada paruh pertama abad ke 20 selama
periode ini tidak sulit ditemukan sejarahwan sosial berorientasi teori misalnya
di jepang, uni soviet, atau di Brasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar