Kamis, 04 Januari 2018

Buku : Sejarah dan Teori Sosial, edisi kedua Pengarang : Peter Burke



Bab I Teori dan Sejarawan
Pemahaman sejarahwan terhadap teori masih berbeda-beda, sebagian sejarahwan mengangap toeri sebagai  kerangka yang sangat menolong dan sebagian lagi mengangap teori sebagai alat untuk memecahkan masalah khusus. Yang lainya lagi sejak dahulu sampai sekarang masih menunjukan sikap sangat curiga dan menentang teori dalam sejarah. Perbedaan pandangan terhadap penggunaan teori dalam sejarah menyebabkan kesalahpaham antara sejarawan dan pakar-pakar ilmu lain. seperti sejarawan dan sosiolog mereka tetanga yang tidak selalu akur  yang sering tidak sepaham walaupun sama-sama meneliti pola yang ada di masyarakat.
 Sosiologi melihat struktur masyarakat dan perkembangannya, sedangkan sejarah melihat perubahan-perubahan  masyarakat dari waktu ke waktu. Kedua pendekatan ini kadang-kadang dianggap kontradiktif tetpi akan lebih baik jika kita mengangapnya saling melengkapi. Hanya dengan membandingkan satu masyarakat dengan masyarakat lain, dapat diketahui keunikan masyarakat itu. Perubahan itu terstruktur dan struktur berubah. Memang proses strukturasi seperti diistilahkan sebagian sosiolog, telah menjadi pumpunan perhatian akhir-akhir ini.
Dari kedua disiplin ilmu ini saling membicarakan kelemahan, dan celakanya kelompok satu cenderung memandang jelek yang lainnya. sejarawan melihat bahwa sosiologiwan hanya terpaku hal-hal yang abstrak dan tidak memiliki sense waktu dan tempat membedakan individu ke dalam kategori-kategori yang kaku. Maka untuk menutupi semua ini , mereka menyebut kegiatan mereka sebagai hal yang ‘’ilmiah’’. Sedang sosiologiwan membicarakan sejarah  sebagai tukang kumpul fakta amatiran yang rabun, yang tidak mempunya sistem, metode dan tidak akuratnya data sehingga dicocokan dengan ketidak mampuan menganalisisnya. Sebenarnya kedua disiplin ilmu bisa saling melengkapi satu sama lain.







Untuk memahami keadaan ini sebaiknya kita memandang disiplin ilmu yang berbeda sebagai profesi yang berbeda dan sebagai sub budaya yang berbeda pula, yang memiliki bahasa, nilai-nilai dan mentalitas ata pola pikir masing-masing yang dibagun melalui proses pelatihan atau sosialisnya sendiri.
 Pada abad ke-18 tidak perselisihan antara sosiologiwan dan sejarawan karena sosiologi pada saat itu belum menjadi disiplin ilmu tersendiri. Seratus  tahun kemudian hubungan sejarah dengan teori sosial kurang harmonis sehingga sejarawan menjauh tidak hanya dari teori sosial tetapi juga dari sejarah sosial. Leopold Van ranke  memang tidak menolak mentah-mentah sejarah sosial, akan tetapi karyanya  pada umumnya kurang tertarik pada sejarah sosial. Sejarah sosial ditinggalkan karena pertama negara Eropa apada abad ke 19 menjadikan sejarah bangsa sebagai alat propaganda kaum nasionlis sehingga sejarah politik kembali dominan. Kedua kembalinya sejarawan ke sejarah politik bersifat politik. Ranke melakukan revolusi sejarah terutama terkait sumber dan metode yakni dari penggunaan kronik  ke penggunaan arsip resmi pemeritah.
 Revolusi rangke ini membawa efek yang tak terduga, tetapi amat penting, karena pendekatan dokumen yang baru berfungsi baik bagi penulisan sejarah politik yang tradisional. Para teoretisi sangat menaruh perhatian terhadap masa lalu tetapi tidak begitu menghargai sejarawan. Comte misalnya, mencaci maki sejarah sebagai hal yang tidak penting karena kekanak-kanakan, rasa ingin tahu yang tidak rasional. Specer malah mengatakan sosiologi lebih tinggi dari pada sejarah, sejarawan hanya dianggap sebagai pengumpul bahan mentah sosiologi. Selain itu Specer berkata “Biografi raja-raja tidak ada sumbangannya terhadap kemajuan ilmu tetang masyarakat (Sedikit yang bisa dipelajari oleh anak-anak).
Hal berbeda menurut Durkheim dan Weber mengenai sejarah. Durkheim  yang berjuang keras menjadikan sosiologi sebagai disiplin ilmu baru dengan cara membedakannya dari ilmu sejarah, filsafat, dan psikologi sehingg dia perlu belajar sejarah kepada Fustel de Coulanges. Max Weber pengetahuannya sangat luas tentang sejarah. Ketika dia tercurah pada teori sosial kajian tentang sejarah tidak ditinggalkan. Dia bisa mendapat bahan dari sejarah dan dari sejarawan dia mendapatkan konsep-konsep.






Weber tidak menganggap dirinya sosiologiwan, ketika menjadi ketua jurusan sosiologi di  Munich dia berkata “menurut surat pengangkatan, saya sekarang kebetulan ahli sosiologi”. Dia sendiri menganggap dirinya seorang ahli ekonomi politik atau sejarawan komparatif. 
Durkheim wafat pada tahun 1917 dan weber pada tahun 1920. Karena beberapa alasan, generasi teoretisi sosial setelah mereka tidak lagi menghiraukan masa lalu. Para ahli ekonomi terpecah kedalam dua arah yang berlawanan. Sebagian, misalnya, francois simiand di prancis, joseph schvmpeter di austria, dan nikolai kondratieff di rusia, menggunakan stasistik tentang masa lalu untuk menelaah perkembangan ekonomi, khususnya siklus perdagangan. Kadang-kadang, ketertarikan kepada masa lalu ini diwarnai dengan cibiran kepada sejarawan dari jenis yang telah disebutkan dimuka tentang Herbert Spencer. Francois Simiand, contohnya, menulis artikel polemik terkenal yang menentang, apa yang ia sebut tiga ‘’berhala’’ dikalangan sejarawan: berhala politik, berhala individu, dan berhala kronologi.
Dalam artikel ini, simiand menolak apa yang dijiluki ‘’event-centered history’’ (histoire evenmentielle) [sejarah yang berpusat pada kejadian dan mencela kecenderungan mencocok-cocokan kajian-kajian ekonomi dalam kerangka politik, seprti pada kasus penyelidikan industri prancis semasa pemerintah henri IV (Simiand 1903).
            Sebagian lain semakin menjauhi masa lalu dan makin mengarah ke teori ekonomi ‘’murni’’ dengan model matematika ‘’murni’’. Para ahli teori marginal utility dan economic equilibrium (keseimbsngsn ekonomi) makin tidak sempat menggunakan pendekatan sejarah yang dirintis Gustav Schmoller dan mazhabnya. Konflik hebat tentang metode itu mengkibatkan terpecahnya profesi ilmu sosial ke dalam dua kubu ‘’prosejarawan’’ dan ‘’proteoretisi’’.
            Sementara itu, para psikolog, mulai dari jean piaget, penulis The Language ami Thought of the Child (1923), hingga wolfgang kohler, yang menulis Gestalt Psychology (1929), berpaling ke metode eksperimen \, yang dimasa lalu tidak terpakai. Mereka lebih mementingkan laboratorium ketimbang perpustakaan.
            Begitu pula, para antropolog sosial menganggap studi lapangan lebih bernilai dibanding ;apora-laporan yang ditulis oleh para pengembara, misionaris, dan sejarawan. Franz Boas, miasalnya, melakukan perjalanan panjang ke Kwakiutl (Boas 1966), suku indian di pesisir pasifik Kanada.

Pada tahun 1906 sampai 1908, A. R Rradcliffe-brown sengaja tinggal di Kepulauan  Andaman (di Teluk Benggala) untuk mempelajari struktur sosial lokal. Bronislaw Malinowski menghabiskan sebagian besar waktunya dari tahun 1915 hingga 1918 di Kepulauan Trobriand (dekat New Guinea).
            Malinowskilah yang bersikeras mengatakan bahwa studi lapangan merupakan metode antropologi par exellence. ‘’Antropolog’’, katanya ‘’ ‘harus meninggalkan kursi tunggu yang berada di beranda rumah misionaris, di kantor pemerintah, atau di bungalow
Planter (Tuan Kebon)’’. Hanya dengan turun ke desa-desa, ke lapangan, seorang antropolog bisa memahami cara pandang penduduk setempat. Setelah studi Malinowski itu, studi lapangan menjadi keharusan di jurusan antropologi (Stocking 1983).
Dalam melakukan studi, sosiolog juga meninggalkan kursi kerjanya (tidak Cuma kursi tunggu diberanda) dan mulai mengumpulkan lebih banyak data dari masyarakat sezaman. Contoh paling mencolok tentang pergeseran kearah masa kini itu – dalam istilah Nobert Elias ‘’mundur ke masa kini’’ – dapat dilihat pada jurusan sosiologi pertama di Amerika Serikat, yang didirakan pada 1892 di Universitas Chicago. Ktua jurusanya yang pertama, Albion Small, adalah mantan sejarawa.
Tapi, pada tahun 1920-an ketika diketuai Robert E. Park, para sosiolog Chicago berpaling ke studi masyarakat sezaman, khususnya masyarakat chicago, serta daerah-daerah kumuhnya, perkampungan kulit hitam (ghetto), kaum pendatang, kelompok-kelomok gang, gelandangan, dan lain-lain. Kata Park, ‘’metode-metode observasi yang sabar, seperti yang digunakan oleh Boas dan Lowie dalam menelaah kehidupan dan perilaku indian amerika, bahkan akan jauh bermanfaat untuk meneliti adat kebiasaan, kepercayaan, praktik sosial, dan konsepsi-konsepsi umu kehidupan yang dijumpai pda masyarakat Little Italy atau Lower North Side di Chicago (park 1916:15; cf. Matthews 1977; Platt 1996: esp. 261-269).
Pada akhir abad ke-19, sejumlah sejarawan profesional kecewa dengan sejarah aliran Neo-Ranke. Salah satu pengkritik adalah Karl Lamprecht, yang mengecam sejarawan Jerman terlalu menitik beratkan pada sejarah politik dan orang-orang terkenal.




Dia menamakanya sejarah kolektif  yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu seperti pendekatan psikologi sosial. Usaha Lamprecht untuk mengakhiri sejarh politik gagal  karena kebanyakan sejawan jerman belum meninggalakan paradigma Ranke. Di Amerika sejarah sosial mendapat tanggapan baik, sejarawan Amerika Serikat melancarkan kecaman terhadap sejarah tradisional, sama seperti Lamprecht dia mengatakan bahwa semua kegiatan manusia harus diperhatikan. Tidak ada bagian kehidupan sosial dapat dipahami secara terpisah dari yang lainnya. Di Perancis ada Marc Bloch dan Febvre yang menentang dominasi sejarah politik. Ambisi mereka menggantikan sejarah politik ke sejarah yang lebih manusiawi dan lebih luas, suatu sejarah yang membahas hal yang lebih luas dibandingkan analis struktur.
Sejarah Sosial telah mendapatkan perhatian serius cukuplama diprancis dan amerika dan disana hubungan antara sejarah sosial amat akrab. Ini bukan berarti tidak ada hal-hal yang terjadi ditempat-tempat lain pada paruh pertama abad ke 20 selama periode ini tidak sulit ditemukan sejarahwan sosial berorientasi teori misalnya di jepang, uni soviet, atau di Brasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar