Kamis, 04 Januari 2018

Review Buku Revolusi Nasional Indonesia



Identitas Buku

Judul buku   : Revolusi Nasional Indonesia
Judul Asli     :  The Indonesian National Revolution
Pengarang    : Anthony J.S. Reid
Penerjemah  : Pericles G. Katoppo
Penerbit        : Pustaka Sinar Harapan
Tahun           : 1996
Tebal          : 336 hlm
ISBN            : 979-416-368-6

ISI
Buku yang ditulis Reid pada teks aslinya diterbitkan pada tahun 1974 dengan judul The Indonesian National Revolution, sehingga ketika diterbitkan dalam edisi Indonesia pada tahun 1996, buku ini belum memuat penelitian-penelitian mutakhir tentang sejarah revolusi Indonesia. Namun demikian, sebagai sebuah referensi, buku ini patut dijadikan acuan bagi berbagai kalangan untuk memahami masa revolusi Indonesia.
Dalam buku Revolusi Nasional Indonesia karangan Anthony J.S. Reid membahas mengenai satu kurun waktu yang disebut dengan masa revolusi (1945-1950). Masa revolusi merupakan salah satu bagian dari rentangan sejarah bangsa Indonesia memiliki peran sentral dalam pembentukan negara Indonesia. Pada masa revolusi, dinamika perkembangan Indonesia sangat terlihat. Hal ini disebabkan pada masa revolusi perkembangan sejarah mengalami perubahan yang sangat cepat. Tercatat beberapa peristiwa penting yang menentukan jalannya Indonesia ke depan terjadi pada masa revolusi ini. Berbagai penyerangan dan peperangan mempertahankan kemerdekaan, perjuangan diplomasi, sampai pada permasalahan dinamika politik dan masyarakat terjadi pada masa ini.


Dalam revolusi nasional tahun 1945-1949, sejarah memperlihatkan masa perundingan dan kebuntuan yang lama diantara pihak-pihak Indonesia-Belanda, yang diselingi oleh masa pertempuran yang lebih pendek. Tempat perundingan itu berpndah-pindah dari Indonesia ke Belanda dan kemudian ke markas PBB di New York, sementara garis front Republik di bawah tekanan Belanda terpaksa berpindah dari kota-kota besar ke daerah pedalaman. Dalam bagian pertama tahun 1949, pada akhirnya garis front itu tidak ada lagi ketika Belanda merebut ibukota Republik di Yogyakarta.
Reid mengawali bahasannya dengan memberikan gambaran tentang awal mula masa pergerakan yang mengantarkan Indonesia pada perubahan pendekatan perjuangan, dari perjuangan yang semata-mata mengandalkan pertempuran fisik menjadi perjuangan wacana dan pemikiran melalui organisasi-organisasi yang terstruktur dan modern. Modernisasi pemikiran yang muncul dan berkembang dengan sangat cepat pada awal abad XX telah menyulut semangat nasionalisme masyarakat untuk melakuan gerakan melawan kolonial pemerintahan Hindia Belanda.
Bagian kedua menjelaskan tentang proklamasi Indonesia yang menuliskan tentang proses menjelang proklamasi, Adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi menjelang Proklamasi Kemerdekaan antara lain: yang pertama Jepang menyerah kepada Sekutu Akibat pengeboman Kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika mengakibatkan Jepang kehilangan kekuatan, sehingga Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14Agustus 1945. Yang kedua Peristiwa Rengasdengklok Setelah mendengar berita Jepang menyerah kepada Sekutu,bangsa Indonesia mempersiapkan dirinya untuk merdeka. Waktu yang singkat itu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Perundingan perundingan diadakan di antara para pemuda dengan tokoh-tokohtua, maupun di antara para pemuda sendiri. Walaupun demikian, diantara tokoh pemuda dengan golongan tua sering terjadi perbedaan pendapat, akibatnya terjadilah “Peristiwa Rengasdengklok”. Selanjutnya bab ini membahas mengenai Perumusan teks proklamasi sampai dengan penandatanganannya baru selesai pukul 04.00 WIB pagi hari, tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat itu juga telah diputuskan bahwa teks proklamasi akan dibacakan di halaman rumah Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pada pagi hari pukul 10.00 WIB. Bab ini juga membahas kejadian-kejadian  sampai bulan-bulan awal setelah proklamasi. Sementara itu, bagian ketiga mengulas tentang kedatangan awal sekutu di Indonesia. Pada bagian ini Reid menjelaskan dengan cukup jelas, tentang posisi Belanda setelah menjadi pemenang perang dunia II, yang memiliki hasrat untuk kembali menguasai Indonesia. Sehingga belanda membonceng Sekutu agar dapat menorobos masuk ke Indonesia Pada bagian keempat menjelaskan tentang revolusi sosial. Bagian ini menjelaskan tentang terjadinya pergolakan di daerah-daerah, terutama di kalangan masyarakat di desa-desa. Bagian kelima menjelaskan tentang politik nasional dalam republik pada tahun 1946-1947. Bagian ini menjelaskan adanya peran organisasi-organisasi pemuda, partai-partai politik, seperti Partai Buruh, Masyumi, PNI, serta berbagai konstelasi politik yang menjelaskan tentang peranan beberapa tokoh, seperti Tan Malaka. Pembahasan tentang peran Tan Malaka merupakan sebuah kajian yang cukup menarik, karena dalam buku-buku lain, penjelasan tentang peran Tan Malaka, sangat minim, bahkan dikatakan tidak pernah diangkat, padahal Tan Malaka merupakan tokoh yang telah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Bagian keenam tentang “Mengepung Republik” berisikan penjelasan tentang agresi dan daya upaya yang dilakukan oleh Belanda dalam upaya menguasai kembali Indonesia belanda melakukan agresi dan boikot terhadap bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia wilayahnya menjadi semakin terhimpit selain itu belanda juga melakukan berbagai perjanjian dengan Indonesia namun selalu diingkari oleh Belanda. Bagian keenam menjelaskan tentang reformasi pemerintah dan revolusi komunis. Dan pada akhirnya buku ini ditutup dengan penjelasan tentang kemenangan strategi diplomasi yang dilakukan oleh pihak Indonesia.
Kelebihan Buku
Selain mengulas tentang berbagai peristiwa seputar revolusi, buku ini menyajikan pula ulasan-ulasan tentang buku-buku yang menuliskan tentang kajian yang sama. Penulis mungkin ingin pembaca buku ini melakukan perbandingan antara tulisan yang dihasilkan dengan karya-karya dengan tema sejenis. Selain itu, buku ini dilengkapi pula oleh ilustrasi yang berisi foto-foto tentang peristiwa seputar revolusi.
Kekurangan Buku
Dalam buku ini, kelemahan yang disoroti dalam tulisan ini adalah ketimpangan gender, yakni seolah-olah dalam buku ini wanita tidak memiliki peran dalam sejarah revolusi Indonesia. Permasalahan hilangnya wanita dalam revolusi Indonesia menjadi titik tekan dalam tulisan ini. Padahal sudah ada tulisan yang memberikan kajian tentang peran wanita dalam sejarah revolusi Indonesia. Reid dalam bukunya menjelaskan bahwa ada peran golongan pemuda dalam revolusi. Namun lagi-lagi Reid tidak menyebutkan adanya peran wanita. Reid hanya menjelaskan tentang organisasi pemuda yang berafiliasi dengan angkatan darat, organisasi Pemuda Sosialis Indonesia, serta beberapa organisasi lainnya. Padahal ada beberapa organisasi yang hanya mengkhususkan hanya beranggotakan wanita.

Review Buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008



Identitas Buku
Judul      : Sejarah Indonesia Modern 1200–2008
Penulis   : M.C. Ricklefs
Terbit     : Desember 2008
Tebal      : 866 halaman
ISBN        : 978-979-024-115-2
ISI
Buku ini di awali dengan pembahasan kedatangan islam .Masuknya Islam di bumi Nusantara mengawali suatu rentangan waktu yang disebut Ricklefs sebagai Indonesia Modern. Ia mengajukan tiga unsur fundamental yang, menurutnya, telah mempersatukan periode tersebut sebagai"sebuah unit sejarah yang padu".Yang pertama adalah unsur kebudayaan dan agama: islamisasi Indonesia yang dimulai tahun sekitar 1200 dan berlanjut hingga hari ini. Yang kedua adalah unsur topik: saling pengaruh antara orang Indonesia dan orang Baratyang dimulai kurang-lebih tahun 1500 dan masih berlanjut. Yang ketiga adalah historiografi: sumber-sumber primer sepanjang periode ini ditulis hampir secara eksklusif dalam bahasa-bahasa Indonesia modern (Jawa,Melayu, dan seterusnya, bukannya Jawa Kuno atau Melayu Kuno) dan dalam bahasa-bahasa Eropa.
Gelombang kedua modernisasi nusantara adalah dengan masuknya bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda. Pengaruh mendasar dari kolonialisasi Portugis adalah kacaunya jaringan perdagangan sebagai akibat ditaklukannya Malaka, serta penanaman Agama Katolik, terutama di Indonesia timur. Kebrutalan kaum kolonial kian menjadi-jadi ketika korporsi-korporasi Belanda melakukan persaingan keras untuk memperebutkan rempah-rempah. Ricklefs menyebutnya pelayaran “liar”
Untuk mengatasi kekacauan dan kontestasi kasar itu, maka dibentuklah Perserikatan Maskapai Hindia Timur atau VOC. Meskipun VOC organisasi Belanda, namun sebagian besar personelnya bukanlah orang Belanda. Para petualang, gelandangan, penjahat, dan orang-orang bernasib jelek dari seluruh Eropa yang bersumpah setia. (hal:72). Sugguh tragis memang, jika sekian abad yang lalu, wilayah yang sedemikian kaya itu dikelola dan dikuasai oleh para bandit Eropa yang duduk di VOC. Berbarengan dengan masa awal pendudukan bangsa Eropa, di nusantara muncul kerajaan-kerajaan baru. Oleh Ricklefs hal ini dilihat sebagai kebangkitan kekuatan lokal yang diasporik tetapi memiliki perangai penakluk, seperti Aceh, Demak, Mataram, Gelgel (Bali) dan Bugis (Sulawesi).
Pada ruang waktu, utamanya pada era tahun 1600 – 1800 terjadi pelawanan militer secara habis-habisan dari kerajaan-kerajaan nusantara dengan Belanda. Masa pertempuran dua abad ini sangat diwarnai kompleksitas konfigurasi politik, intrik-intrik politik dan persekongkolan di lingkungan istana, sehingga kekuatan nusantara tidak sepenuhnya cukup kokoh untuk segera mengusir kolonial. Bukannya kemenangan politik dan kebudayaan, justru dalam perjalanan waktu dua abad (17-18), VOC telah benar-benar mampu membangun kekuatan despotik yang mampu sepenuhnya menundukkan negara-negara nusantara. Fenomena ini disajikan secara utuh oleh Ricklefs pada bab 6-10.
Pada perkembangan awal abad 19, Ricklefs menandai proses pembentukan negara-negara jajahan oleh kaum kolonial, sebab pada proses dua abad sebelumnya adalah proses hegemoni. Model negara jajahan yang diformulasikan oleh VOC adalah dengan sistem residensial, yakni VOC mendelegasikan kekuasaan lokal kepada residen dan bupati. Dengan sistem ini kekuasaan VOC cukup efektif, sebab dengan keterbatasan pasukan dan defisit anggaran, VOC dapat tetap berkuasa.
Untuk menutup kekurangan finansial, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan program tanam paksa (cultuurstelsel). Melalui program cultuurstelsel inilah Belanda meraih keuntungan yang besar. Sejak tahun 1831 anggaran belanja Kolonial Belanda sudah berimbang, dan hutang lama VOC telah terlunaskan. Lebih dari itu, Gubernur Jenderal Belanda mampu mengirimkan uang ke negeri Belanda 832 florins (1831-1877).
Akibat surplus yang diperoleh dari Jawa inilah Kolonial Belanda membiayai penaklukan daerah-daerah  diluar Jawa. (266-267).
Waktu terus bergulir, angka tahun menunjukkan 1900-an. Pada awal abad 20 ini Ricklefs menyebutnya sebagai era awal munculnya konsepsi tentang Indonesia. Pemerintah Belanda mulai menerapkan kebijakan yang dikenal dengan politik etis. Hal ini terjadi karena di Eropa sendiri sedang dilanda gagasan liberalimse, yakni semangat pembebasan. Novel Max Havelaar yang mengkritik habis kekejaman Hindia Belanda, kini mulai menjadi preferensi penting bagi pegawai kolonial. Fakta lain juga dapat kita temui dalam artikel yang ditulis oleh van Deventer (1899) yang menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia. Realisasi dari politik etis adalah dibukanya pendidikan, utamanya dari golongan bawah oleh Gubernur Jenderal van Heutsz (1904-1909).
Dampak dari politik etis ini memang melahirkan model perjuangan tersendiri tentang kemerdekaan dari Belanda. Yakni format perjuangan yang lebih modern, misalnya saja melalui gaya parlementarian (Volksraad), maupun kampanye gagasan dan ideologi diberbagai surat kabar yang diterbitkan sendiri oleh para tokoh nasionalis, serta pembentukan serikat-serikat organisasi sosial-politik.Takashi Shiraishi (lihat: An Age Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926; 1990) menyebut era ini adalah zaman modern seiring dengan gemuruhnya slogan-slogan opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), dan opvoeding (pendidikan). Dengan menggunakan cara ini, setengah abad dilampaui oleh pejuang nasionalis untuk mendapatkan kemerdekaan. Sampai pada akhirnya waktu yang ditunggu itu tiba, yakni sebuah pernyataan kemerdekaan.
Lima tahun awal sejak kemerdekaan Indonesia, Ricklefs menyebutnya sebagai zaman revolusi. Sebab seluruh potensi kekuatan nasional ‘dipaksa’ untuk menghadapi kekuatan asing yang masih tetap melancarkan agresi. Ada realitas menarik yang disampaikan oleh Ricklefs mengenai masa-masa revolusi ini. Yakni munculnya sebuah ketegangan di Sumatera dan Jawa. Atas nama kedaulatan rakyat dan persatuan nasional, kelompok-kelompok revolusioner muda mengintimidasi, menculik, dan kadangkala membunuh para pejabat pemerintahan, kepala desa, anggota polisi, yang disangsikan kesetiannya, tuduhan korupsi, dan penindasan selama masa pendudukan Jepang (hal:440).
Pada masa lima tahun kedua sejak kemerdekaan, saatnya Indonesia memasuki fase percobaan demokrasi. Namun panggung politik nasional diwarnai dengan pertikaian politik , pergantian kabinet dan militer. Namun pada sisi lain, Indonesia mulai diperhitungkan dalam kancah politik internasional dengan menggalang kekuatan politik Asia-Afrika, sebuah daerah yang setidaknya memiliki kesamaan nasib, yakni sama-sama sebagai bangsa yang pernah dijajah. Hasil nyata dari konsolidasi ini oleh Soekarno populer disebutnya Nefo (New Emergencing Force). Namun kekuatan politik Soekarnopun lambat laun mulai redup, puncaknya saat tragedi G 30 S 65 meletus.
 Berikutnya, orde baru dibawah kepemimpinan militer tampil sebagai kekuatan korporatis. Orde baru memang berhasil melambungkan pertumbuhan ekonomi nasional, sampai-sampai gelar Bapak Pembangunan dilekatkan ke Presiden Soeharto waku itu. Karena stabilitas yang menjadi prinsipnya, maka seluruh potensi politik yang kritis segera dihabisi oleh orde baru. Klimaknya, orde baru jatuh atas otoritarinisme yang dijalankan selama 35 tahun. Gelombang demokrasi kedua mulai tumbuh. Orang populer menyebutkannya dengan zaman reformasi, namun kalangan akar rumput sering menyebutnya dengan ‘repot nasi’. Hal ini terjadi karena depresi ekonomi yang sedang melanda kawasan asia.Ketika perjalanan reformasi mencapai dua kali pemilu, Indonesia sebagaimana yang digambarkan oleh Ricklefs telah melampaui empat kali kepemimpinan nasional. Pada saat yang sama dibarengi sekian persoalan, mulai merajalelanya korupsi, ancaman sparatisme, tingginya angka kemiskinan, bahkan intrik-intrik politik yang mencederai kedewasaan berdemokrasi.
Kelebihan Buku
            Buku ini memiliki pembahasan yang menarik , karena membahas mengenai sejarah Indonesia dari Zaman kedatangan Islam sampai masa Orde Baru. Penekanan seluruh isi Buku ini adalah pada sejarah rakyat Indonesia.  Baik cerita sejarah Politik maupun permasalahan sosial budaya dan ekonomi di bahas didalamnya. Buku ini sangat baik untuk para mahasiswa yang inggin mendalami Sejarah Indonesia. Buku ini juga disusun secara kronologis sehingga mempermudah pembaca dalam memahami isi Buku.
Kekurangan Buku
Buku ini merupakan buku hasil terjemahan dari buku yang berjudul Historyof Indonesia. Sehingga pengunaan kata dalam buku ini terkadang susah untuk di mengerti .

MAKALAH KABINET WILOPO ERA DEMOKRASI PARLEMENTER



BAB I
 PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang
Kabinet wilopo merupakan kelanjutan dari sistem pemerintahan parlementer di indonesia. Kabinet wilopo di bentuk setelah kabinet sukiman di ambil mandatnya oleh DPR. Penyebab di ambil mandat kabinet Sukiman karena di anggap lebih condong kebarat dan bertentangan dengan politik nonblok indonesia.sesuai aturannya kabinet sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden I.R sukarno. Setelah I.r Sukarno menerima mengunduran diri Sukiman dan kabinetnya. Maka presiden Menunjuk Sidik Djoyosukarto dari partai PNI (partai Nasional indonesia). Serta Prawoto Mangku sasmito dari partai Masyumi menjadi formatur pembentukan kabinet yang baru.
Karena Sidik Djoyosukato dan Prawoto Mangku Sasmito gagal merumuskan formatur kabinet. Maka mereka mengembalikan mandat sebagai formatur kabinet kepada Ir Sukarno. Kegagalan mereka di sebabkan oleh gagalnya membentuk kabinet yang kuat dan di dukung mayoritas partai di parlemen serta tidak adanya kesepakatan tentang orang atau mentri yang akan didudukkan di kabinet. Setelah Sidik Djoyodikusumo dan Prawoto mengembalikan mandatnya Pada tanggal 19 februari 1952.   Presiden I.r Sukarno kembali menbentuk formatur kabinet baru yang diketuai oleh Wilopo.
Berdasarkan uraian di atas maka penyusun mencoba untuk menggali lebih jauh tentang apa saja yang ada pada Kabinet Wilopo.
B.     Rumusan Masalah
Pada makalah ini rumusan masalah yang akan dibahas yaitu sebagai berikut :
1.       Bagaimana proses terbentuknya kabinet Wilopo ?
2.       Apa sajakah partai-partai pendukung kabinet wilopo ?
2.      Faktor – faktor apa saja yang menyebabkan kabinet Wilopo jatuh ?

C.     Tujuan
1.     Untuk mengetahui terbentuknya Kabinet Wilopo.
2.      Untuk mengetahui partai – partai pendukung Kabinet Wilopo.
3.      Untuk mengetahui faktor – faktor jatuhnya kabinet Wilopo.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Proses Terbentuknya kabinet Wilopo
Setelah kabinet Sukiman di ambil mandatnya. Pada tanggal 1 Maret 1952 Presiden Soekarno menunjuk Sidik Djojosukarto (PNI) dan Prawoto Mangkusasmito (masyumi) menjadi fornatur. Yang diminta oleh Presiden kepada Fornatur adalah sebuah kabinet yang kuat dan mendapat dukungan dari cukup dari Parlemen.[1] Namun usaha fornatur menemui kegagalan sebab tidak ada kesepakatan tentang calon-calon yang akan didudukan dalam kabinet. Pada tanggal 19 Maret mereka mengembalikan Mandat, dan Presiden menunjuk Mr. Wilopo (PNI) sebagai fornatur baru. Akhirnya setelah berusaha dua minggu, pada tangal 30 Maret Mr Wilopo mengajukan susunan kabinet yang terdiri dari PNI dan Masyumi masing-masing jatah empat orang, PSI dua orang, PKRI (Partai Katholik Republik Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Parindra (Partai Indonesia Raya), Partai Buruh, dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) masing - masing satu orang dan golongan tak berpartai tiga orang.  Dalam menentukan susunan personalia kabinetnya, Wilopo mengusahakan adanya suatu Tim yang padu sebagai zaken kabinet, sehingga dapat secara bulat mendukungg kabijakan pemerintah.[2] Dalam konstelasi politik saat itu kehadiran partai-partai politik tetap diperhitungkan agar mencapai mayoritas di Parlemen.

Berikut ini merupakan susunan Kabinet Wilopo :

1.      Perdana Menteri : Mr. Wilopo
2.      Wakil PM : Prawoto Mangkusasmito
3.      Menteri Luar Negeri a.i. : Mr. Wilopo 6, dan Mukarto
4.      Menteri Dalam Negeri : Mr. Moh. Roem
5.      Menteri Pertahanan : Sri Sulatan HB IX 7
6.      Menteri Kehakiman : Mr. Lukman Wiradinata
7.      Menteri Penerangan : A. Manonutu



8.      Menteri Keuangan : Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo
9.      Menteri Petanian : Moh. Sardajan
10.  Menteri Perekonomian : Mr. Sumanang
11.  Menteri Perhubungan : Ir. Juanda
12.  Menteri PU dan Tenaga : Ir. Suwarto
13.  Menteri Perburuhan : Ir. Tedjasukmana
14.  Menetri Sosial : Anwar Tjokroamino 8
15.  Menteri PP & K : Prof. Dr. Bahder Djohan
16.  Menteri Agama : KH Fakih Usman
17.  Menteri Kesehatan : Dr. J. Leimena
18.  Menteri Urusan Pegawai : Suroso[3].

Program kerja kabinet ini ada 6 pasal, dan yang paling penting dari keenam program itu adalah mempersiapkan pelaksanaan pemilihan umum. Kabinet ini juga memprogramkan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan menciptakan keamanan dalam negeri. Program luar negerinya ditekankan kepada perjuangan pengembalian Irian Barat serta melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif.[4]

B.     Partai-partai Pendukung Kabinet Wilopo
Partai pendukung kabinet Wilopo adalah PNI (partai Nasional Indonesia) dan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) Namun Demikian, keduanya sulit untuk bekerjasama. Beroriantasi Nasionalis, PNI mencurigai Motivasi keagaman yang mungkin di miliki oleh para pemimpin Masyumi, sementara Masyumi tidak menyukai PNI karena pendukung utama partai tersebut adalah kaum muslim abangan, terutama dari masyarakat Jawa. Dalam Masyumi sendiri terdapat ketegangan antara faksi-faksi yang konservatif dan Modernis.[5] Selanjutnya PNI semakin mencurigai motivasi- motivasi keagamaan dari beberapa pemimpin masyumi dan mencari sekutu untuk membantunya menunda pemilihan umum , karena merasa takut bahwa masyumi mengkin akan meraih kemenangan yang sangat besar.
PKI dengan strategi Front persatuan nasionalnya, bersidia menawarkan bantuan kepada PNI dan tidak mencela kabinet seperti yang dilakukan terhadap kabinet sebelumnya semua orang yang ditangkap dalam operasi pembersihan anti komunis pada tahun 1951 kini dibebaskan.
PSI berpengaruh di kalangan pejabat tinggi pemerintahan dan mempunyai pendukung di kalangan tentara pusat. Sedangkan Masyumi mewakili kepentingan-kepentingan politik Islam. Basis politik Masyumi terdiri atas kaum muslim yang taat, termasuk sebagian besar kaum borjuis pribumi, para kyai dan ulama. Basis utama Partai Nasional Indonesia (PNI) ialah didalam birokrasi dan kalangan para pegawai kantor. Di daerah pedesaan Jawa partai ini memiliki daya tarik yang sangat besar bagi masyarakat muslim nominal (abangan).
Motivasi partai-partai mendukung pemerintahan yaitu agar mereka duduk di dalam parlemen dengan praktik ‘’ politik dagang sapi ‘’ yang hanya menguntungkan segelintir elite politik. Hal ini berkaitan dengan koalisi dari dua atau lebih partai politik untuk membentuk kabinet pemerintahan. Dimana masing-masing partai berada dalam keadaan memerikan penawaran untuk menempatkan orang-orang guna mengisi pos-pos kementrian tertentu, dengan demikian praktik politik dagang sapi lebih berorientasi pada kekauasaan dan kepentingan sebuah partai politik, ketimbang rakyat banyak. [6]
C.     Faktor- faktor yang menyebabkan jatuhnya Kabinet Wilopo
Ada beberapa faktor yang menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo yang pertama yaitu keadaan ekonomi yang kian memburuk dengan berakhirnya perang korea. Antara bulan februari 1951- dan september 1952, harga karet, ekspor yang terpenting turun 71%. Penghasilan pemerintah tentu saja merosot. Dalam upaya untuk memperbaiki neraca perdagangan yang tidak menguntungkan serta keluarnya cadangan emas dan devisa maka pemerintah mengenakan bea tambahan sebesar 100 sampai 200 persen terhadap impor barang mewah dan mengurangi pengeluaran. Selain itu kabinet juga berencana memperkecil jumlah birokrasi dan militer.[7] Pengurangan yang direncanakan dikalangan militer inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik yang gawat di dalam tubuh tentara dan merupakan cikal bakal terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan peristiwa yang cukup mengoncang kabinet Wilopo ialah yang menyangkut persoalan angkatan darat, peristiwa ini mempunyai sangkut paut dengan perkembangan ekonomi, reorganisasi atau profesionalisasi tentara dan campur tangan parleman atas persoalan militer. Perkembangan ekonomi dunia kurang menguntungkan pemasaran hasil eksport hingga penerimaan devisa menurut sekali dibandingkan kabinet sebelumnya. Dengan maksud melakukan penghematan tetapi juga pembentukan tentara yang memenuhi persyaratan Internasional anggota militer yang semata-mata memasuki dinas ketentaraan karena pangilan revolusi perlu dikembalikan ke masyarakat. Tentara bukanlah suatu amatirisme tetapi fesionalisme. Ini menyebabkan protes dikalangan perwira yang pendidikanya rendah, atau pro pengajur persatuan, seperti yang tercermin dalam surat Bambang Supeno kepada Presiden yang kemudian menimbulkan kericuhan (perpecahan) di kalangan tentara[8]. Banyak Politisi yang menyalahkan menteri pertahanan, Sultan Hamengku Buwana,  sebagai yang tercermin dalam mosi tak percaya dari Zainal Baharudin dan manai Sophian yang mendesak ke organisasian AP. Menyadari akan tangung jawabnya, KSAD  Nasution beserta pimpinan AD baik dari pusat maupun didaerah-daerah pada tanggal 17 Oktober 1952 menghadap Presiden Sukarno dan mengusulkan agar Parlemen dibubarkan, karena terlalu berbau kolonial, Presiden langsung memimpin pemerintah sampai diselengarakan pemilihan umum. Presiden Sukarno menolak karena tidak mau jadi diktator . Usul tersebut didahului oleh suatu demonstrasi dimuka istana Presiden dengan usul yang sama. Golongan Anti peristiwa 17 Oktober meluas juga dikalangan AD sendiri menteri pertahanan , sekretaris jendral Ali Budiharjo dan sejumlah perwira yang merasa bertangungjawab atas terjadinya peristiwa 17 oktober mengundurkan diri dari jabatanya. Kedudukan Nasution digantikan oleh Bambang Sugeng. Meskipun peristiwa 17 Okober tidak menyebabkan kabinet Wilopo jatuh tetapi prestisenya menurun[9] .
            Yang dua yaitu Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunan hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras. Yang ke tiga    Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa yang harus segera diselesaikan. Di beberapa tempat, terutama di Sumatera dan Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintahan pusat. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang. Daerah merasa bahwa sumbangan yang mereka berikan kepada pusat hasil ekspor lebih besar dari pada yang dikembalikanke daerah[10].
Yang keempat  yaitu   Munculnya sentimen kedaerahan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintahan. Mereka juga menuntut diperluasanya hak otonomi daerah. Timbul pula perkumpulan – perkumpulan yang berlandaskan semangat kedaerahan seperi, paguyuban Daya Sunda di Bandung dan Gerakan Pemuda federal Republik Indonesia di Makassar. Keadaan ini sudah tentu membahayakan bagi kehidupan negara kesatuan.
Lalu yang terakhir adalah masalah  tanah  di  Tanjung  Morawa,  satu  kecamatan  di  Sumatera  Timur. Di  kecamatan  itu  terdapat  perkebunan  asing,  antara  lain  perkebunan kelapa  sawit,  teh,  dan  tembakau.  Atas  dasar  persetujuan  KMB, para pengusaha  asing  itu  menuntut  pengembalian  lahan  perkebunan  mereka, padahal   perkebunan   itu   telah   digarap   oleh   rakyat   sejak   zaman pendudukan  Jepang.  Ternyata  pemerintah  menyetujui  tuntutan  dari  para pengusaha  asing  itu  dengan  alasan  akan menghasilkan devisa  dan  akan menarik  modal  asing  lainnya  masuk  ke  Indonesia.  Di  sisi  lain,  rakyat tidak  mau  meninggalkan  tanah-tanah  yang  telah  digarapnya  itu. Maka pada  tanggal  16  Maret  1953  terjadilah  pentraktoran  tanah  tersebut.  Hal ini  menimbulkan  protes  dari  rakyat.  Namun  protes  rakyat  itu  disambut tembakan oleh polisi, sehingga jatuh korban di kalangan rakyat.Peristiwa itu dijadikan sarana oleh kelompok yang anti kabinet dan pihak  oposisi  lainnya  untuk  mencela  pemerintah.  Kemudian  mosi  tidak percaya muncul di parlemen. Akibatnya Kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya  kepada  presiden  pada  tanggal  2  Juni  1953  tanpa  menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.[11]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari hasil uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.    Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto (PNI) dan Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) menjadi formatur, yang diminta oleh Presiden Soekarno kepada formatur ialah sebuah kabinet yang kuat dan mendapat dukungan cukup dari parlemen. Usaha kedua formatur untuk membentuk kabinet yang kuat menemui kagagalan. Pada tanggal 19 kedua formatur itu mengembalikan mandatnya dan Presiden Soekarno menunjuk Mr. Wilopo (PNI) sebagai formatur baru.
2.      Program kerja kabint Wilopo : Mempersiapkan pemilihan umum, Berusaha mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan RI, Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan, Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran, Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif.
3.      Kabinet Wilopo mendapat dukungan koalisi dari PNI, Masyumi dan PSI. Partai Sosialis Indonesia (PSI) didukung oleh kaum intelektual Jakarta. PSI berpengaruh di kalangan pejabat tinggi pemerintahan dan mempunyai pendukung di kalangan tentara pusat. Sedangkan Masyumi mewakili kepentingan-kepentingan politik Islam. Basis politik Masyumi terdiri atas kaum muslim yang taat, termasuk sebagian besar kaum borjuis pribumi, para kyai dan ulama. Basis utama Partai Nasional Indonesia (PNI) ialah didalam birokrasi dan kalangan para pegawai kantor. Di daerah pedesaan Jawa partai ini memiliki daya tarik yang sangat besar bagi masyarakat muslim nominal (abangan).
4.      Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Peristiwa ini dijadikan sarana oleh kelompok yang anti kabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela pemerintah. Akibatnya Kabinet wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden pada tanggal 2 Juni 1953 tanpa menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.







DAFTAR PUSTAKA
Buku
Posponegoro, MD. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka.
Ricklefs, MC. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta : Serambi.
Moedjanto.1988.  Sejarah Indonesia abad ke-20 jilid II. Yogyakarta : Kanisius.
Wardaya, BT. 2008. Indonesia Melawan Amerika konflik PD 1953-1963. Yogyakarta: Galangpress.
Pustaka, RK. 2008. UUD 45& Perubahanya  susunan kabinet RI lengkap (1945-2009). Jakarta: PT kawan Pustaka.
Pendidikan sejarah Unnes 2013. 2016. Dinamika pergantian tujuh kabinet masa demokrasi parlementer 1950-1959. Semarang: Savista Press.
Jurnal
Saiman, Marwono, dan Syofyan. 2013 . Sistem Pemerintahan pada masa Demokrasi Liberal tahun 1949-1959. Pekanbaru: Universitas Riau.



[1] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto,  Sejarah Nasional Indonesia jilid VI
[2] Ibid,                                                                                                                                                                        
[3] Redaksi Kawan Pustaka, UUD 45& Perubahanya  susunan kabinet RI lengkap (1945-2009), PT Kawan Pustaka, Jakarta, 2008,  hlm.  62-63.
[4] Marwono Saiman dan Syofyan, Sistem Pemerintahan pada masa Demokrasi Liberal tahun 1949-1959, Universitas  Riau, Pekan Baru, 2013,  hlm. 7.
[5] Baskara T Wardaya, Indonesia Melawan Amerika konfil PD 1953-1963, Galangpress Publisher, Yogyakarta, 2008, hlm.  140.
[6] Pendidikan Sejarah 2013, Dinamika pergantian tujuh kabinet masa demokrasi parlementer 1950-1959, Savita Press, Semarang, 2016, hlm. 74-75
[7] MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2001, Serambi, Jakarta, 2008. hlm. 486.

[8] Ibid, hlm. 487
[9] Moedjanto, Sejarah Indonesia Abad ke-20 Jilid II, Kanisius, Yogyakarta , 1988 , hlm. 88.
[10] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto ,  Sejarah Nasional Indonesia jilid VI
[11] Marwono Saiman dan Syofyan, Sistem Pemerintahan pada masa Demokrasi Liberal tahun 1949-1959, Universitas  Riau, Pekan Baru, 2013, hlm. 8.